https://journal.merassa.id/index.php/JIS/issue/feedJOURNAL IURIS SCIENTIA2025-04-25T02:56:06+00:00Dr. Edi Pranoto, S.H, MHumpranoto.edi@gmail.comOpen Journal Systemshttps://journal.merassa.id/index.php/JIS/article/view/53TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN PERAMPASAN ASET SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA2024-11-20T06:11:21+00:00Suci Fitriani Hafsah Sucisucifitriani2012@gmail.comIvan Zairani Lisiivanzairani@fh.ummul.ac.idAgustina Watiagustinawati@fh.ummu.ac.id<p><em>Corruption is a criminal act that aims to enrich a person or corporation which results in state financial losses. In article 2 paragraph (1) it is stated that the perpetrator of a criminal offense can be sentenced to imprisonment and/or a fine of a predetermined amount, but not only that, the judge can also impose additional punishment in the form of replacement money which was previously regulated in article 34 of Law Number 3 1971 and Article 18 paragraph (1) letter b of Law number 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption. However, according to the data the author obtained from ICW, it is stated that the monetary compensation penalty is not enough to recover the losses suffered by the state. So, to recover state losses in a short time, provisions are needed that regulate policies regarding confiscation of assets without punishment. The concept of asset confiscation itself consists of 2 methods, namely, in personam and in rem. Confiscation of assets by means of in personam is a law enforcement action that focuses on the defendant personally for the criminal act he committed through applicable legal procedures. The in personam method must be carried out based on a valid decision from the criminal court, in this case the prosecutor is required to be able to prove that the assets to be confiscated are the result of a criminal act. Meanwhile, confiscation by means of in rem or also called civil for-feiture focuses more on assets and not on the perpetrator of the crime, so this method does not require a judge's decision to execute the assets of the perpetrator of the crime. However, prosecutors and executors still need to ensure that the assets to be confiscated are part of a criminal act.</em></p> <p>Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang bertujuan untuk memperkaya seseorang atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pelaku tindak pidana dapat dijatuhi hukuman pidana penjara dan/atau denda dengan nominal yang telah ditentukan, tetapi tidak hanya itu hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti yang sebelumnya telah diatur dalam pasal 34 UU Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi menurut data yang penulis dapatkan dari ICW menyebutkan bahwa hukuman uang pengganti belum cukup untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh negara. Maka untuk memulihkan kerugian negara dengan tempo yang singkat diperlukan ketentuan yang mengatur kebijakan mengenai perampasan asset tanpa pemidanaan. Konsep perampasan asset sendiri terdiri dari 2 cara yaitu, secara in personam dan secara in rem. Perampasan asset dengan cara in personam merupakan sebuah Tindakan penegakan hukum yang berfokus pada terdakwa secara personal atas tindak pidana yang dilakukannya melalui prosedur hukum yang berlaku. Cara in personam harus dilakukan berdasarkan putusan yang sah dari peradilan pidana, dalam hal ini jaksa dituntut untuk dapat membuktikan bahwa asset yang akan dirampas merupakan hasil dari suatu tindak pidana. Sedangkan perasampasan dengan cara in rem atau juga disebut dengan civil forfeiture lebih berfokus pada asset bukan pada pelaku tindak pidana, maka dengan cara ini tidak memerlukan putusan hakim untuk mengeksekusi asset pelaku tindak pidana tersebut. Namun jaksa dan eksekutor tetap perlu memastikan bahwa asset yang akan dirampas merupakan bagian dari tindak pidana.</p>2025-01-10T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 JOURNAL IURIS SCIENTIAhttps://journal.merassa.id/index.php/JIS/article/view/46IMPLIKASI KEWARGANEGARAAN TERHADAP PENERAPAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA2024-11-20T23:54:05+00:00neha kirania cipta kirania ciptanehacipta8@gmail.comAhmad Muhamad Mustain Nasohanehacipta8@gmail.comAshfiya Nur Atqiyaashfiyanuratqiya@gmail.comAlifa ‘Abidatin Nuuralifa‘abidatinnuur@gmail.comFarah Akifahfarahakifah@gmail.com<p>Kewarganegaraan adalah segala jenis hubungan dengan suatu negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara tersebut untuk melindungi orang tersebut. Aspek penting dalam hubungan tersebut adalah penerapan hukum, termasuk hukum perdata, yang mengatur hubungan antar individu dalam konteks hukum perdata. Dalam konteks negara-negara dengan system hukum yang beragam, seperti negara-negara yang menerapkan hukum Islam, pengaruh kewarganegaraan terhadap penerapan hukum perdata menjadi sebuah isu yang kompleks dan banyak aspek. Kewarganegaraan dapat mempengaruhi bagaimana hukum perdata Islam diterapkan dan diintegrasikan ke dalam hukum negara saat ini, sehingga menyebabkan perbedaan dalam penegakan hukum di berbagai belahan dunia. Pengaruh kewarganegaraan terhadap penerapan hukum perdata Islam terlihat jelas di negara-negara dengan sistem hukum campuran atau pluralistik. Di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, sistem hukum nasional menerapkan hukum perdata Islam bagi warga negara Muslim, sedangkan hukum non-Islam berlaku bagi non- Muslim. Pembedaan ini menggambarkan bagaimana kewarganegaraan dapat menentukan penerapan hukum dalam konteks hukum perdata Islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh kewarganegaraan terhadap penerapan hukum perdata Islam, dengan fokus pada berfungsinya sistem hukum campuran dan pluralistik di negara-negara dengan komunitas muslim. Tinjauan terhadap kasus hukum dan peraturan yang ada saat ini memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai keterkaitan antara kewarganegaraan, hukum. Kewarganegaraan tidak hanya menentukan penerapan hukum tetapi juga menciptakan kerangka hak dan tanggung jawab individu dalam sistem hukum yang berbeda. Pada akhirnya, negara-negara berbasis hukum Islam harus mencapai keseimbangan antara mempertahankan prinsip-prinsip dasar Syariah dan beradaptasi dengan perkembangan hukum internasional dan hak asasi manusia, terutama dalam konteks masyarakat yang semakin plural dan mengglobal Metode penelitian yang digunakan. adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, konseptual, historis, dan perbandingan. Studi ini menyimpulkan bahwa status kewarganegaraan juga mempengaruhi hak dan kewajiban dalam penerapan hukum perdata Islam, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan, warisan, kontrak, dan masalah hubungan. Bagi warga negara yang beragama Islam, hukum Islam secara tegas mengatur permasalahan tersebut dengan mengacu pada Al-Qur'an dan Hadits, sedangkan bagi warga negara non-Muslim, peraturan tersebut terbatas pada, misalnya hukum perdata atau peraturan adat yang diberlakukan secara nasional dapat berbeda- beda. Pengaruh kewarganegaraan terhadap penerapan hukum perdata dapat memberikan perbedaan yang signifikan terhadap hak dan kewajiban individu dan juga dapat mempengaruhi keputusan pengadilan dalam kasus-kasus yang melibatkan hukum Islam. Kajian ini memberikan kontribusi penting untuk memahami dinamika hukum perdata Islam dalam konteks global dan menyoroti perlunya reformasi dan harmonisasi hukum untuk mencapai keadilan yang lebih adil.</p> <p>Citizenship is any kind of relationship with a country that gives rise to an obligation for that country to protect that person. An important aspect in this relationship is the application of law, including civil law, which regulates relationships between individuals in the context of civil law. In the context of countries with diverse legal systems, such as countries that apply Islamic law, the influence of citizenship on the application of civil law becomes a complex issue and has many aspects. Citizenship can influence how Islamic civil law is applied and integrated into current state law, resulting in differences in law enforcement in different parts of the world. The influence of citizenship on the application of Islamic civil law is clearly visible in countries with mixed or pluralistic legal systems. In countries such as Indonesia and Malaysia, the national legal system applies Islamic civil law to Muslim citizens, while non-Islamic law applies to non-Muslims. This distinction illustrates how citizenship can determine the application of law in the context of Islamic civil law. The aim of this research is to investigate the influence of citizenship on the application of Islamic civil law, with a focus on the functioning of mixed and pluralistic legal systems in countries with Muslim communities. A review of current case law and regulations provides deeper insight into the relationship between citizenship and law. Citizenship not only determines the application of law but also creates a frame work of individual rights and responsibilities in different legal systems. Ultimately, countries based on Islamic law must strike a balance between maintaining the basic principles of Sharia and adapting to developments in international law and human rights, especially in the context of an increasingly plural and globalized society. The research method used is normative legal research with statutory, case, conceptual, historical and comparative approaches. This study concludes that citizenship status also influences the rights and obligations in the application of Islamic civil law, especially those relating to marriage, inheritance, contracts and relationship issues. For Muslim citizens, Islamic law strictly regulates these issues by referring to the Al-Qur'an and Hadith, while for non-Muslim citizens, these regulations are limited to, for example, civil law or customary regulations that are applied nationally which may be different. different. The influence of citizenship on the application of civil law can make a significant difference to individual rights and obligations and can also influence court decisions in cases involving Islamic law. This study makes an important contribution to understanding the dynamics of Islamic civil law in a global context and highlights the need for legal reform and harmonization to achieve fairer justice.</p> <p> </p>2025-01-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 JOURNAL IURIS SCIENTIAhttps://journal.merassa.id/index.php/JIS/article/view/51PENTINGNYA INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK PADA TINDAKAN MEDIS2024-11-21T00:02:38+00:00novekawati ekawnoveka@gmail.com<p><strong>Abstrak :</strong> Penanganan pasien oleh tenaga medis haruslah dilakukan dengan penuh kehati-hatian, agar tidak menimbulkan konflik antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga medis. Oleh karenanya dalam praktek medis, dimana tenaga medis dalam melakukan tindakan terhadap pasien haruslah meminta persetujuan kepada pasien atau keluarga pasien, dimana hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalah pahaman. Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Secara lisan dapat dilakukan dalam hal tindakan ringan seperti memberikan suntikan atau memasang infus, sedang untuk tindakan yang beresiko persetujuan tindakan medis dilakukan secara tertulis, seperti oprasi ataupun pencangkokan organ tubuh, serta amputasi. Dalam dunia medis persetujuan tindakan medis dikenal dengan istilah <em>“informed Concent”. </em>Untuk tindakan medis yang memiliki resiko lebih berat, maka akan dilakukan kesepakatan atau perjanjian antara tenaga medis dengan pasien atau keluarga pasien secara tertulis, yang dikenal denganistilah <em>“terapeutik”</em>.Syarat syah <em>terapeutik </em>mengacu kepada syarat syah yang di atur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat, cakap, suatu sebab tertentu, dan causa yang halal.</p> <p>The handling of patients by medical personnel must be carried out with great care, so as not to cause conflicts between patients or patients' families and medical personnel. Therefore, in medical practice, where medical personnel in carrying out actions against patients must ask for consent from the patient or the patient's family, which needs to be done so that there is no misunderstanding. Approval of medical treatment can be done orally or in writing. Verbally can be done in the case of minor actions such as giving injections or inserting IVs, while for actions that are risky the approval of medical actions is carried out in writing, such as surgery or organ transplantation, as well as amputation. In the medical world, consent to medical actions is known as <em>"informed concent". </em>For medical procedures that have a more serious risk, an agreement or agreement will be made between medical personnel and the patient or the patient's family in writing, known as <em>"therapeutic"</em>. The therapeutic sharia condition <em> </em>refers to the sharia requirements regulated in Article 1320 of the Civil Code, namely agreement, capable, a certain cause, and halal causa.</p>2025-01-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 JOURNAL IURIS SCIENTIAhttps://journal.merassa.id/index.php/JIS/article/view/70TINJAUAN HUKUM TERHADAP MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA2025-04-25T02:56:06+00:00Binton Sibutarbutarbintonsibutarb@gmail.comSlamet Riyantoslamet.riyanto@umko.ac.id<p>Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang berfungsi untuk memastikan kelancaran administrasi dan pelayanan kepada masyarakat. Pengangkatan perangkat desa dilakukan melalui proses seleksi yang melibatkan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dengan tujuan untuk memilih individu yang memenuhi kriteria dan memiliki kapabilitas dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan desa. Proses pengangkatan ini diakhiri dengan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan oleh Kepala Desa. Di sisi lain, pemberhentian perangkat desa dapat dilakukan dengan berbagai alasan, seperti meninggal dunia, permohonan pengunduran diri, atau pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. Prosedur pemberhentian melibatkan musyawarah desa atau keputusan Kepala Desa yang harus didasarkan pada ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Penyelesaian sengketa terkait pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa dapat dilakukan melalui jalur musyawarah atau prosedur hukum yang telah ditetapkan melalui mekanisme peraturan perundang-undangan.</p> <p><em>The mechanism for the appointment and dismissal of village officials is an important part of the implementation of village government which functions to ensure smooth administration and services to the community. The appointment of village officials is carried out through a selection process involving the Village Head and the Village Consultative Body (BPD), with the aim of selecting individuals who meet the criteria and have the capabilities to carry out village government duties. This appointment process ended with the inauguration and taking of the oath of office by the Village Head. On the other hand, the dismissal of village officials can be carried out for various reasons, such as death, resignation requests, or violations of applicable regulations. The dismissal procedure involves village deliberation or the decision of the Village Head which must be based on the provisions of applicable laws and regulations. Dispute resolution related to the appointment and dismissal of village officials can be carried out through deliberation channels or legal procedures that have been established through the mechanism of laws and regulations.</em></p>2025-01-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 JOURNAL IURIS SCIENTIAhttps://journal.merassa.id/index.php/JIS/article/view/48PENTINGNYA OPOSISI PARTAI POLITIK SEBAGAI MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM PEMERINTAHAN DEMOKRATIS2024-11-21T00:23:58+00:00Lutfi Mubaroklutfimubarokalfaatih@gmail.comJuan Turpynjuan.turpyn@gmail.com<p>Dalam pemerintahan demokratis, peran oposisi partai politik sebagai mekanisme <em>checks and balances</em> sangatlah penting dalam menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelajahi signifikansi oposisi partai politik dalam memastikan efektivitas <em>checks and balances</em> dalam sistem demokratis. Penelitian ini menelusuri latar belakang <em>checks and balances</em> dalam pemerintahan demokratis, menyoroti peran penting partai oposisi dalam memberikan pengawasan dan menantang tindakan partai pemerintah. Secara metodologis, kajian literatur komprehensif dan analisis studi kasus dari berbagai konteks demokratis digunakan untuk mengkaji dinamika oposisi partai politik. Temuan menegaskan peran sentral partai oposisi dalam menjaga prinsip-prinsip demokratis dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh partai pemerintah. Studi ini menyimpulkan bahwa oposisi partai politik yang kuat sangatlah penting untuk kelancaran sistem pemerintahan demokratis. Berdasarkan temuan tersebut, rekomendasi diberikan untuk memperkuat peran oposisi partai politik dalam memastikan efektivitas <em>checks and balances</em>, termasuk meningkatkan proses pemilu dan memupuk budaya akuntabilitas dalam institusi politik.</p> <p><em>In a democratic government, the role of opposition political parties as a check and balance mechanism is very important in maintaining accountability and transparency in government. This study aims to explore the significance of political party opposition in ensuring the effectiveness of checks and balances in a democratic system. This research explores the background of checks and balances in democratic governance, highlighting the important role of opposition parties in providing oversight and challenging the actions of the ruling party. Methodologically, a comprehensive literature review and case study analysis from various democratic contexts were used to examine the dynamics of political party opposition. The findings underscore the central role of opposition parties in safeguarding democratic principles and preventing abuse of power by the ruling party. The study concludes that strong opposition from political parties is essential for the smooth running of a democratic system of government. Based on the findings, recommendations were made to strengthen the role of opposition political parties in ensuring the effectiveness of checks and balances, including improving the electoral process and fostering a culture of accountability in political institutions.</em></p>2025-01-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 JOURNAL IURIS SCIENTIA